Upaya Cottonology Tetap Tumbuh di Tengah Pandemi

marketeers article

Di tengah persaingan pasar fesyen yang fokus pada pakaian perempuan, Pabrikan kain asal Bandung, Jawa Barat melihat potensi pasar di segmen fesyen laki-laki. Carolina Danella Laksono, Founder & CEO Cottonology dengan jeli melihat peluang pasar fesyen laki-laki yang sepi peminat bisnis. Padahal, pasar ini sangat potensial untuk dikembangkan, apalagi dengan style pakaian laki-laki yang cenderung lebih mudah diutak-atik. 

“Sejak tiga tahun lalu, fokus kami pada pasar laki-laki saat banyak pemain membuat dan menjual pakaian perempuan. Pasarnya yang besar tidak dibarengi dengan ketersediaan pakaian yang berkualitas bagus. Jadi, kami telah menyerang celah tersebut dan merebut pasar,” kata Carolina.

Cottonology hadir sebagai merek lokal yang menawarkan pakaian laki-laki mulai dari pakaian basic untuk digunakan sehari-hari, penunjang fesyen seperti jaket dan jas, hingga pakaian homewear. Meskipun terdengar sederhana, Carolina memastikan bisnisnya memiliki alasan bisa memenangkan pasar. Salah satunya lewat klaim sustainable fashion yang diusung. Merek ini memang memproduksi pakaian mulai dari benang yang dipintal menjadi kain dengan standar sendiri dan menciptakan motif signature yang berbeda. 

Ide awal bisnis ini adalah memanfaatkan usaha keluarga yang sudah ada. Ia mengembangkan usaha pabrik kain yang diturunkan dari sang kakek. Saat itu, Carolina berpikir penjualan kain tidak setinggi sebelumnya. Kini, konsumen menginginkan yang praktis. Ia juga mengukur preferensi belanja orang-orang seumurannya, yaitu kaum milenial yang ingin tetap gaya, menggunakan pakaian berkualitas, dan murah.

“Proses produksi yang dilakukan sendiri from the scratch dan pola yang unik menegaskan ciri Cottonology. Mau ditiru sulit karena hanya Cottonology yang memiliki kualitas kain dan pola pakaian seperti itu,” tegasnya.

Kekuatan diferensiasi ini kemudian disempurnakan dengan strategi marketing yang tepat, walaupun awalnya takut-takut. Saat Cottonology dibentuk pada tahun 2017 lalu, tren pakaian distro sedang naik daun lagi setelah sempat redup. Hal ini menjadi tantangan. Distro sangat dekat dengan pasar fesyen laki-laki, terutama yang menginginkan gaya berpakaiannya sendiri.

Di tengah tren, Cottonology tidak ingin jadi pengikut. Merek ini kemudian mengatur strategi marketingnya sendiri. Carolina memulai pemasaran  Cottonology dari satu pameran ke pameran lainnya. Pertama kali mengikuti pameran, ia mengaku tidak percaya diri. Sempat timbul pertanyaan apakah produk pakaiannya akan laku? 

“Waktu itu, Cottonology hanya menjual kemeja. Kami memproduksi 1.000 pieces dengan ekspektasi minat pasar tidak terlalu tinggi. Tapi kenyataannya beda. 1.000 pieces itu habis dalam waktu tiga hari, bahkan ada permintaan tambahan,” katanya. 

Hasil yang memuaskan memberanikan Carolina untuk mengikuti berbagai pameran dalam rangka memperkenalkan produknya ke pasar. Cottonology bahkan sempat melakukan tur pameran di berbagai kota di Pulau Jawa. Sembari menggaungkan namanya, Cottonology juga terus mengembangkan produk dengan memproduksi jas, bomber jacket, hingga celana boxer. Dalam tiga tahun, Cottonology telah menjual ribuan kemeja dan setidaknya 15.000 celana boxer.

Beralih ke Digital

Meskipun sukses, memasarkan produk dengan mengandalkan pameran sangat melelahkan. Carolina bahkan mengaku sempat menolak tawaran pameran karena tidak memiliki cukup produk untuk dijual dan kekurangan staf. Saat itulah, ide untuk memasarkan Cottonology secara digital muncul. Pada tahun 2018, Cottonology membuka toko digitalnya di e-commerce

“Cottonology sudah memiliki kekuatan dari kualitas produk yang ditawarkan. Untuk itu, kami tidak menggunakan influencer dan key opinion leader (KOL) karena konsumen kami sebagian besar merasa puas dan bahkan dengan sukarela merekomendasikan Cottonology kepada kerabat atau temannya,” kata Carolina.

Hasilnya, penjualan Cottonology naik berkali-kali lipat sejak memasuki lanskap ekonomi digital. Carolina tidak serta merta menghentikan kegiatan pameran. Menurutnya, pameran tetap penting karena di sanalah konsumen bisa memegang langsung produk berkualitas yang ramah di dompet ala Cottonology.

Tidak disangka, imigrasi ke e-commerce menjadi penyelamat Cottonology di masa pandemi. Cottonology terpaksa menghentikan semua jadwal pameran akibat COVID-19. Namun, permintaan tetap datang dari e-commerce, sehingga bisnisnya tetap bisa berjalan.

Jika ditilik lebih lanjut, pandemi adalah blessing in disguise bagi Cottonology. Atas kejelian Carolina, Cottonology yang telah melihat outlook pasarnya berupaya mengatasi risiko dengan memproduksi masker kain lebih dulu dari merek-merek lain.

Hasilnya, saat masker mengalami kelangkaan, Cottonology berhasil menjual 5.000 masker kain  dan merebut pasar lebih awal. Kondisi pandemi juga dimanfaatkan untuk mengembangkan produk lain. Kini, Cottonology memiliki koleksi baju tidur dan mulai memproduksi pakaian perempuan.

“Di masa pandemi, kami justru berhasil memberdayakan warga sekitar untuk menjadi penjahit, kami ajarkan mereka bagaimana caranya menenun kain dan membuat pola. Di saat perusahaan lain memberhentikan karyawan, Cottonology justru menyerap tenaga kerja,” pungkas Carolina.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS