Zaman Sekarang, Pemasar Perlu Dekati Konsumen dengan Kreatif

marketeers article
man on the coast using his smartphone to surf fashion blog. All screen graphics are made up.

Di zaman digital seperti sekarang, brand harus cerdas menangkap peluang dalam memasarkan produk-produk mereka. Jika tidak demikian, brand akan ditinggalkan konsumen yang lebih memiliki produk lain. Brand harus bisa menyiasati cara untuk mendekati konsumen sehingga tidak terlihat hard selling. Cara jualan yang terlalu terlalu ‘terlihat’ ini semakin tidak diinginkan konsumen.

Mengingat konsumen di Indonesia semakin cerdas, saat ini sebagian brand mulai melirik cara-cara halus nan kreatif untuk memasarkan produknya. Misalnya saja lewat sponsored marketing dan influencer marketing. Sponsored marketing merupakan sebuah bentuk dari native advertising. 

Native advertising adalah sebuah bentuk media berbayar yang terlihat seperti konten natural,” kata Co-founder dan Group CEO GetCRAFT Patrick Searle dalam acara Jakarta Content Marketing Meetup bertajuk Sponsored Content and Influencer Marketing Deep-dive di Jakarta, Selasa (14/3/2017).

Lebih lanjut, Patrick menjelaskan perbedaan antara content marketing dan native advertising. Ia memaparkan, content marketing adalah sebuah strategi marketing yang menyasar audiens yang jelas dengan tujuan menggiring nasabah potensial untuk melakukan sesuatu. Untuk melakukan content marketing, brand melakukannya di media yang mereka miliki.

Patrick mengatakan, dalam menerapkan sponsored marketing, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya terkait edukasi. “Sponsored marketing ini powerful. Pemasar dan brand perlu mendapatkan edukasi mengapa mereka membutuhkan sponsored marketing dan apa hasil yang akan mereka dapatkan ketika menjalankan sponsored marketing,” jelas Patrick.

Selain sponsored marketing, pemasar perlu mengenal influencer marketing.  Menurut Patrick, dulu, influencer melakukan buzzing, buzzing, dan buzzing di Twitter. Kini hal itu tidak lagi seiring dengan media sosial lain yang mulai menghadirkan fitur-fitur baru sehingga menarik hati netizen, sebut saja Facebook dan Instagram.

“Dengan menggandeng influencer yang krdibel, kepercayaan konsumen akan tumbuh. Yang perlu diperhatikan brand, bagaimana Anda memastikan distribusi konten dan pastikan influencer membawa pesan yang kuat,” katanya.

Ia menjelaskan, influencer terbagi ke dalam tiga tipe, yakni tipe emerging, niche, dan selebriti. Tipe emerging adalah mereka yang memiliki 10-50 ribu followers. Meski tidak banyak, namun influencer tipe ini biasanya mampu membuat hasil yang kreatif bersama brand.

Tipe yang kedua adalah niche influencer. Niche influencer adalah orang-orang yang ahli di bidang tertentu, contohnya beauty blogger. Untuk berkolaborasi dengan mereka, brand harus merogok kocek agak dalam. Walaupun terbilang mahal, namun hal ini beralasan karena niche influencer ini memiliki kemampuan yang baik dalam mengomunikasikan brand dengan hasil yang baik.

“Terakhir, selebriti. Selebriti bisa mengundang satu juta views per video. Harga yang bisa dibayar brand untuk bekerja sama dengan selebriti ini bisa mencapai Rp 200 juta per post. Meski terlihat mahal, namun sebenarnya harga itu termasuk murah karena brand bisa menjangkau banyak audiens,” tutupnya.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related

award
SPSAwArDS